Saturday, October 17, 2009

puncta

Siapakah yang Terbesar?...
Mat 18: 1-5
1. Teks:
Dalam perjalanan menuju Kapernaum, murid-murid Yesus mempertengkarkan siapa yang terbesar di antara mereka. Melihat hal itu Yesus duduk dan memanggil kedua belas murid-Nya dan berkata: “Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya.” Lalu Yesus mengambil seorang anak kecil dan menempatkannya di tengah-tengah mereka, sambil memeluknya Ia berkata: “Barangsiapa menyambut anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku. Dan barangsiapa menyambut Aku , bukan Aku yang disambutnya tetapi Dia yang mengutus Aku. Sebab yang terkecil di antara kamu sekalian, dialah yang terbesar.”
2. Tafsir:
a. Pembaca 1 (konteks jaman itu)
Kalau mau lebih dicermati, bab 18 injil Matius ini banyak berisi tentang sabda dan ajaran Yesus tentang hubungan sesama manusia. Yesus mengajarkan kepada para murid-Nya bagaimana mereka harus bersikap kepada sesama jemaat. Mulai dari sikap rendah hari seperti anak kecil (18:1-5), tidak boleh menyesatkan (18:6-11), dan mengampuni (18: 21-35).
Dalam injil Matius ayat 18: 1-5 ini, Matius menyoroti tentang kepemimpinan Kristiani. Matius mempunyai idealisme sendiri mengenai seorang pemimpin. Matius mengharapkan agar pemimpin jemaat adalah orang-orang yang mempunyai sikap rendah hati seperti anak kecil. Pemimpin jemaat yang rendah hati tidak akan bersikap semena-semena dan tidak menganggap diri sebagai yang terbesar. Sebagai satu tim jemaat, mereka bersinergi dan saling membantu. Tidak ada yang menjadi “superman”, yang ada hanya “superteam”.
Pertanyaannya, siapakah pemimpin itu?
Yesus sendiri bersabda: “Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya”. Dari sini kita dapat menafsirkan bahwa pemimpin yang digambarkan Matius adalah pemimpin yang melayani.
Lantas, di mana good newsnya? Di mana kabar gembiranya?
Gambaran pemimpin yang diharapkan Matius sama sekali berbeda dengan gambaran pemimpin rakyat pada masa itu. Konteks jaman itu pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka, karena mereka berpikir mereka adalah yang terbesar dan paling berkuasa. Gambaran ini sangat kontroversial dan justru karena itulah sabda Yesus menjadi angin segar dan good news bagi jemaat kala itu. Pemimpin yang diharapkan Yesus adalah pemimpin yang melayani, pemimpin yang berkarakter rendah hati seperti anak kecil.
b. Pembaca 2 (kita di jaman sekarang)
Apakah good news 2000 tahun yang lalu itu masih relevan dan tetap menjadi good news untuk jaman sekarang?!
Sebuah punctum yang ingin saya refleksikan dalam renungan ini adalah kepemimpinan yang melayani. Dalam sebuah komunitas pasti dibutuhkan pemimpin, demikian pula sebaliknya. Maka, diperlukan sinergi dan kerja sama dari kedua belah pihak. Seminari sendiri menyediakan banyak sarana untuk kita belajar menjadi pemimpin lewat berbagai keorganisasian baik OSIS maupun medan.
Sebuah komunitas itu seperti halnya tubuh manusia. Ada organ-organ yang saling bekerja sama dalam satu kesatuan tubuh manusia di bawah koordinasi otak. Berikut ini akan saya ceritakan sebuah debat imajinatif yang mau menggambarkan pentingnya sikap rendah hati sang pemimpin.
Otak: jelas kan, di antara kita sayalah, Otak yang paling mempunyai peranan paling penting, perencana dari semua kegiatan dalam hidup. Kalian hanya sebagai pembantu-pembantu saya.
Jantung: jangan besar kepala kamu, mentang-mentang tempatmu di atas. Siapa yang berperan mendistribusikan makanan ke seluruh tubuh kalau bukan aku, Jantung. Tanpa memperoleh jatah makanan, terutama oksigen kau tidak akan bertahan hidup.
Paru-paru: sudahlah, jangan bertengkar. Siapa sih yang memasok oksigen yang mutlak diperlukan untuk hidup, kalau bukan aku, Paru-paru. Sedikit berkurang aku memasok oksigen, kalian sudah menjadi lemas.
Usus: memang kita juga tahu kalau kita semua butuh oksigen. Tapi apa Cuma itu kebutuhan makanan kita. Siapa yang memproses makanan yang masuk ke dalam tubuh. Jadi aku jangan diremehkan begitu.
Gigi: hai usus, apa kau kira kau bisa mencerna makanan tanpa kubantu melumatkannya. Kalau aki lagi tidak enak sehingga tidak sempurna dalam melumatkanny, kau pasti protes dan harus bekerja lebih keras.
Ginjal: aku setuju pada kawan jantung bahwa dialah yang mempunyai peranan paling penting karena mendistribusikan makanan ke seluruh tubuh. Walaupun cukup makanan, tetapi kalau tidak ada yang mengedarkan akan tertimbun di suatu tempat dan banyak yang tidak kebagian. Tapi, kalau aku tidak mencuci darahyang harus mengangkut sari makanan ke seluruh tubuh makanan akan menjadi kotor dan mencemari tubuh kita. Jadi aku juga punya peranan yang perlu kalian pertimbangkan.
Anus: apa sih yang kalian perdebatkan. Masing-masing ingin dianggap paling penting. Kenapa mesti rebut kalau memang sudah menjadi kewajiban kita ya jalankan saja. Kita ini kan sama, yang membedakan hanya tugas dan kewajibannya.
Otak, jantung, paru-paru, usus, gigi, ginjal, dan organ lainnya yang belum sempat bicara serentak bereaksi.
Hai kau anus, tidak usah ikut-ikutan. Tempatmu itu paling bawah, baumu tidak sedap, dan kita semua tahu bahwa kau hanya bertugas membuang kotoran. Jadi untuk apa kau ikutan nimbrung, tahu dirilah kau!
Anus: ya sudah aku akan diam dan beristirahat sebentar, aku sudah capek.
Nah, apa jadinya kalau anus sampai mogok kerja. Dalam waktu tidak lebih dari tiga hari mungkin tubuh kita sudah merasa sakit dan tidak beres, sembelit….
Debat di atas sebenarnya tidak perlu terjadi jika otak sebagai pusat koordinasi (koordinator) tidak memulai perdebatan. Justru karena otak merasa sebagai yang terbesar di antara semua organ, muncul sikap semena-mena dan meremehkan organ yang lain. Padahal sebagai pemimpin, otak diharapkan bisa melayani organ-organ yang lain agar bisa bekerja dengan baik. Malahan saya setuju dengan anus yang mengatakan bahwa tidak penting memperdebatkan siapa yang terbesar di antara semua organ, yang penting adalah menjalankan tugas dan kewajiban dengan sepenuh hati dan professional. Dari sini kita sebenarnya sudah semakin memahami good news dari sabda Yesus di atas, bahwa siapa yang mau menjadi terdahulu hendaklah ia menjadi yang terakhir, siapa yang ingin menjadi pemimpin hendaklah ia menjadi hamba dan pelayan. Maka, saya merasa bahwa sabda Yesus di atas sangat relevan dan masih menjadi good news sampai hari ini.
Saya percaya di antara teman-teman pasti tidak ada yang bersikap seperti otak. Buktinya, ketika kita diajukan sebagai ketua atau koordinator biasanya kita menolak dan menyerahkannya kepada orang lain. Kita mungkin merasa bahwa sebagai seorang koordinator kita malah repot dan harus melayani teman-teman kita. Apalagi dengan menjadi koordinator bukan berarti mendapat keistimewaan khusus. Misalnya, dengan menjadi bidel umum OSIS kita mendapat keistimewaan untuk tidak opera. Bukan seperti itu kan! Justru ketika kita dipercaya menjadi seorang koordinator kita harus memberi teladan yang baik dan melayani teman-teman kita.
Terakhir, saya hanya ingin menegaskan kembali sabda Yesus bahwa seorang pemimpin kristiani itu adalah pemimpin yang melayani. Lagi pula, kelak ketika kita lulus dari seminari ini kita kan akan menjadi pemimpin, baik awam maupun imam. Maka, jadilah pemimpin yang melayani…Paling tidak itu yang ingin saya sharingkan dan semoga bisa bermanfaat bagi teman-teman. Saya tidak tahu persis apa yang akan menjadi khotbah romo besok, tapi paling tidak malam ini kita semakin menyadari pentingnya peran seorang pemimpin yang melayani.
Push to the Limit
Pulung Wismantyoko, Yustinus
“Meskipun setiap orang rindu akan kebenaran, tapi reaksi pertama yang
muncul ketika berhadapan dengan kebenaran itu adalah takut
dan lari dari kenyataan”.
-Managamtua Heribertus
Simbolon SJ_12/10-09
Yang penting bukan di mana
Tapi bagaimana aku menjalaninya…
Refleksi ini tidak hanya mengisahkan perjuanganku memaknai setiap titik pengalaman live in-ku di KPTT (Kursus Pertanian Taman Tani), Salatiga, Jawa Tengah tetapi juga akan memberikan kesaksian tentang perjuanganku mengerahkan seluruh energiku untuk mencari Allah. Wuih kelihatannya keren kan, untuk itu silakan membaca refleksi sederhana ini semoga bisa menjadi insipirasi bagi kita semua
Pada tanggal 7 Oktober sampai dengan 12 Oktober 2009 semua seminaris Medan Utama angkatan 96 mendapat kesempatan untuk mengalami live in. Bagiku Live in itu tidak sekedar tinggal (live) tapi juga bagaiamana merasa in di tempat dan suasana baru. Maka, sebenarnya aku ditantang untuk live dan merasa in di mana pun aku berada.
Sebenarnya aku ingin sekali ditempatkan di SD Eksperimen Mangunan Kalasan, Yogyakarta. Selain bisa mengenal lebih dekat semangat dan humanisme Romo Mangun, aku juga bisa mengalami sendiri mendampingi anak-anak miskin di sana. Namun, apa mau dikata ternyata Tuhan menginginkan aku untuk belajar menyalurkan energi kreatifku dari tanaman. Aku diajak untuk belajar bertani di Kursus Pertanian Taman Tani (KPTT) Salatiga, Jawa tengah. Pada prinsipnya aku menerima di manapun aku akan ditempatkan. Walau ada sedikit rasa kecewa tapi bagiku itu tidak menjadi masalah lantaran aku sudah mendisposisikan batinku bahwa “yang penting itu bukan di mana aku akan ditempatkan tapi bagaimana aku akan menjalani, tinggal (live) dan merasa in dengan suasana dan orang-orang baru”. Seperti kata Romo Mangun, “Di mana hati diletakkan di situlah proses belajar dan menjadi dewasa dimulai”, aku akan belajar dari kejutan-kejutan yang mungkin akan aku jumpai nanti. Aku akan selalu terbuka dengan berbagai pengalaman baru, orang-orang baru dan suasana baru.


Out of Boundaries
Selama hampir sembilan belas tahun aku hidup di dunia belum pernah aku mengenal tentang pertanian, kecuali satu kesempatan home stay lalu di Banyutemumpang, itu pun hanya 3 hari 2 malam. Selain itu, aku sama sekali buta pertanian. Sama sekali tak ada gambaran yang bisa menjelaskan kepadaku tentang apa yang akan terjadi nanti. Di satu sisi ada perasaan takut yang mengahalangiku melangkah lebih jauh, namun di sisi lain aku ditantang untuk siap sedia belajar dan beradaptasi di manapun aku berada.
Sampai pada titik itu aku tersadarkan oleh pengalaman outbound ketika libur lebaran lalu. Seperti halnya pengalaman outbound di Youth Center itu, untuk dapat keluar dari batasan-batasan (boundaries) pertama-tama aku harus belajar mengenali ketakutan-ketakutan yang selama ini menjadi benteng diriku. Dengan demikian akan lebih mudah bagiku untuk keluar dari wilayah nyamanku masuk ke wilayah berani yang mungkin sama sekali asing bagiku. Keberanianku untuk meluncur di tantangan Flying Fox dan mengatasi segala ketakutanku, menjadi titik tolakku untuk lebih berani mengatasi berbagai tantangan yang aku hadapi dalam hidup sehari-hari. Di manapun aku akan ditempatkan nanti aku akan siap sedia menerimanya dan terus beradaptasi dengan lingkungan baru.
Seperti tulisan di persimpangan Medan Utama, “Tujuan akan tercapai kalau kita berani melangkahkan kaki kita. Sebuah langkah besar selalu diawali dengan langkah-langkah kecil. Tugas kita adalah untuk memulai langkah-langkah kecil itu. Tuhan yang akan mengatur langkah-langkah kecil itu untuk menjadi langkah besar”, aku yakin keberanianku menerima segala tantangan itu akan membantuku mengatasi ketakutan dan kecemasanku, keluar dari batasan-batasan dan masuk ke wilayah berani.
Live di tengah komunitas baru ternyata tidak langsung membuatku merasa in. Aku mengalami ketegangan-ketegangan yang seperti menarikku ke berbgai arah. Pertama, aku harus berusaha masuk ke dalam komunitas yang sama sekali baru bagiku. KPTT (Kursus Pertanian Taman Tani) adalah semacam lembaga non-formal yang memberikan kursus kepada para calon petani pengusaha sukses! Berhubung bentuknya adalah asrama berarti aku harus beradaptasi dengan komunitas baru. Lagi pula peminat kursus pertanian yang mayoritas dari luar Jawa, terutama dari Medan, Flores, Kalimantan, dan Papua ini memaksaku berkomunikasi sesuai dengan logat dan budaya mereka. Di satu sisi aku merasa tertantang dan tidak sabar segera terjun ke dalam komunitas, di sisi lain masih ada rasa takut yang menghalangi langkah kecilku.
Kedua, di sana aku diajak untuk mengerjakan pekerjaan seorang petani. Aku mengalami sendiri mencangkul tanah, menyiram tanaman, memanen sayuran yang ternyata sangat melelahkan dan menguras seluruh energiku. Pada awalnya aku merasa satu hari seperti satu minggu. Aku merasa waktu begitu lambat berlalu dan terasa begitu lama. Melihat dua tantangan itu, aku seperti dihadapkan pada dua pilihan, aku diam dan seolah-olah tidak peduli dengan live in-ku, atau berusaha memperjuangkan pengalaman live in ini walau harus merasakan sakit dan lelah luar biasa. Aku sempat berpikir untuk mengambil pilihan yang pertama, karena memang lebih nyaman dan tidak membutuhkan lebih banyak energi untuk melakukannya. Tapi, ketika aku teringat prinsip hidupku, bahwa keberanian untuk mengambil langkah dan inisiatif akan membantu mengatasi segala ketakutan, aku seperti dimampukan untuk lebih berani mengerahkan semua energi yang aku miliki untuk beradaptasi dengan lingkungan baruku dan tidak lari dari kenyataan.
Aku tidak peduli begaimanapun sangar dan seremnya tampang preman mereka, yang aku tahu aku ingin sekali menjadi sahabat mereka. Ternyata benar, keberanianku memulai langkah kecil itu membuatku menyadari bahwa “TAMPANG BOLEH PREMAN, TAPI HATI SELUCU HELLO KITTY”. Pelan-pelan aku mulai merasa in dengan komunitas baruku ini. Aku live bersama mereka dan merasa in dengan budaya mereka.
Ketika aku berdoa mohon kekuatan, Tuhan memberikan aku tantangan agar aku lebih kreastif menjalani hidup. Ketika aku mohon kesabaran, Tuhan memberiku orang-orang yang menjengkelkan. Ketika aku memohon sahabat, Tuhan memberiku orang-orang dengan tampang preman dan sangar agar aku bisa mengalami dan menemukan makna persahabatan yang sejati. Tuhan selalu menantangku untuk selalu memilih lebih kreatif dan produktif. Tuhan tidak memberiku ikan agar langsung dapat aku makan. Tuhan memberiku kail agar aku bisa mengerahkan seluruh energi kreatifku dan dengan demikian aku lebih mampu bersyukur atas segala pengalaman hidup. Tuhan selalu mengajakku untuk PUSH TO THE LIMIT dan masuk ke wilayah berani!
Kebahagiaan Rohani
Ketika aku mengerahkan energiku sampai pada tetes energi terakhir aku seperti merasa mendapatkan energi yang lebih besar untuk menikmati setiap tantangan. Malahan Tuhan memberiku bonus berupa kebahagiaan rohani yang sangat menyegarkan dan membuat hidupku lebih cerah. Keping-keping keberanian yang telah aku kerahkan, membuatku tak lagi merasakan ketakutan yang aku alami sebelumnya. Ketika aku berani mulai mengambil langkah-langkah kecil, Tuhan telah mengatur langkah-langkah besar yang akan menggantikan langkah-langkah kecil itu.
Aku sama sekali tidak menyesal ditempatkan di KPTT Salatiga, malahan aku merasa sangat beruntung lantaran aku bisa menemukan pelajaran berharga untuk perkembangan panggilanku. Aku menyadari panggilanku itu seumpama sebuah benih yang disemaikan Tuhan di seminari. Tuhan telah menancapkan benih itu sejak pertama aku memutuskan masuk seminari, dan sekarang setelah selama hampir empat tahun menghidupi benih panggilan itu aku merasa mulai bertumbuh dan terus menjadi besar.
Pengalaman mengolah tanah, menyiram dan merawat tanaman, dan memanen membuatku merasakan sendiri bagaimana selama ini Tuhan telah bekerja keras merawat panggilanku. Tuhan itu ternyata seperti seorang petani yang setiap hari pergi ke ladang, mencangkul dan menyabit semua hama yang mengganggu, memberikan sentuhan cinta pada benih yang mulai bertumbuh menjadi tanaman dewasa. Panas terik matahari dan lelah yang menyerang tidak menghalangi Tuhan untuk senantiasa setia mencintai benih kehidupan itu. Setiap tetes keringat dan kreativitas Tuhan telah memampukanku untuk mengerahkan semua energiku sampai tetes energi terakhir.
Sekarang ketika aku melihat kembali keping-keping pengalaman itu, aku tak kuasa menahan kebahagiaan rohani yang aku rasakan ketika aku memaksa diriku sendiri untuk mengerahkan seluruh energi walau harus merasakan sakit. Semua yang aku lakukan ini, semata-mata karena aku mencintai panggilan yang telah Tuhan tanam dalam hidupku dan karenanya aku rela merasa sakit untuk memperjuangkannya. Cinta memampukanku untuk mengerahkan seluruh tenagaku dan berani merasakan sakit. Seperti kata Romo Agam, “Cinta tanpa merasa sakit belumlah cinta”.Push to the limit!!!

Menghidupkan Pendidikan Pemerdekaan Inspirasi Y.B Mangunwijaya

Menghidupkan Pendidikan Pemerdekaan

Inspirasi Y.B Mangunwijaya

Pemimpin sejati adalah orang yang mampu mencetak para pemimpin baru dan dengan demikian tercipta suatu masyarakat pemimpin (leader society). That’s a truly democratic Indonesia has taken shape.

1. Krisis dan Tren Kepemimpinan Humanis

Di masa reformasi ini Indonesia tengah mengalami krisis kepemimpinan nasional. Krisis kepemimpinan yang dimaksud adalah krisis keteladanan yang sebenarnya sudah dimulai sejak pecahnya kerusuhan Mei 1998. Berawal dari krisis moneter yang menyebabkan demonstrasi menuntut penurunan harga, sampai pada krisis kepercayaan rakyat kepada pemimpin nasional. Indonesia seakan impoten melahirkan para pemimpin bangsa yang mampu menjalankan program reformasi yang mempunyai kepekaan yang tajam pada kebutuhan dan kesejahteraan rakyat.

Argumen yang pernah dilontarkan oleh Gubernur Lemhanas, adalah bahwa terdapat 1100 anggota DPR baik di pusat maupun di daerah serta 67 gubernur dan bupati/walikota yang menjadi tersangka dan bahkan terpidana[1]. Pernyataan tersebut jelas menjadi pukulan yang amat berat bagi lembaga yang dipimpinnya, sekaligus sebagai wajah kepimimpinan yang dimiliki oleh bangsa saat ini. Sungguh ironis mengingat di zaman reformasi ini masih banyak pemimpin yang justru pandai dan berlomba-lomba mengelabui rakyat, bukan melayani rakyat.

Bagaimana mengatasi krisis kepemimpinan Indonesia saat ini? Mengembalikan makna dan perilaku pemimpin sebagai good leader bukan great leader, bukan sebagai petinggi atau pangreh, tetapi sebagai pamong. Dibutuhkan teladan dan langkah nyata yang berorientasi pada yang dipimpin. Dengan kata lain Indonesia sebenarnya menantikan kelahiran seorang atau sekelompok orang pemimpin humanis yang mempunyai perhatian yang mendalam pada kebutuhan rakyat miskin dan concern pada kebutuhan rakyat miskin Indonesia. Pemimpin humanis adalah orang yang mampu mencetak pemimpin-pemimpin baru dan dengan demikian menciptakan suatu komunitas pemimpin (leader society).

Setiap 2 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional. Dalam momen bersejarah itu patut dikenang nama-nama besar bapak pendidikan, seperti Ki Hajar Dewantara dari Jogjakarta dengan Taman Siswa, KH Mohamad Sjafei dari Sumatra Barat dengan NIS Kayutaman, atau Pakasi dari IKIP (sekarang Universitas) Negeri Malang, serta Romo Mangun (Y.B.Mangunwijaya) wijaya dengan SD Eksperimen Mangunan di Jogjakarta.

Namun, kini justru keprihatinan terhadap dunia pendidikan lebih sering mengemuka. Pendidikan mestinya mengabdi pada kepentingan dan pemekaran diri anak, tapi kenyataannya mengabdi pada kepentingan industri, pemerintah, gengsi orang tua dan kepentingan lain tanpa menghargai kebutuhan anak. Berbagai masalah pendidikan itu di era reformasi tidak berkurang. Jika demikian yang terjadi, bukannya pemimipin humanis yang akan dilahirkan sebaliknya pendidikan hanya akan melahirkan sosok dehumanis, kader-kader penghafal, pembeo, dan ”katak dalam tempurung”. Terjadi kesempitan cakrawala pandang yang pada gilirannya akan melahirkan fundamentalisme dan chauvinisme yang membentuk individu-individu fasis yang bermental penyamun, perompak, penggusur tak berperikemanusiaan, yang jelas-jelas menghambat kemajuan bangsa.

2. Pedagogi Humanisme Mangunwijaya

Konsep Pasca-Indonesia dan Pasca-Einstein merupakan konsep dasar humanisme Mangunwijaya yang dilandasi keprihatinannya. Kita masih suka berpikir dehumanis dalam bentuk pemikiran yang sempit, terkotak-kotak, bercita rasa dangkal, munafik, tidak fair, tidak jujur, serakah, manipulatif, tidak cerdas, dan tidak dewasa[2].

Dalam bidang pendidikan, situasi tersebut mengakibatkan generasi muda, khususnya peserta didik, tidak mendapatkan tanah tumbuh dan iklim kesempatan untuk berkembang menjadi semakin cerdas dan manusiawi. Seluruh iklim masyarakat tidak menguntungkan untuk menjadi manusia cerdas berkarakter tinggi.

Romo Mangun menolak sistem pendidikan yang membuat anak menjadi seragam karena pendidikan yang menyeragamkan akan mengakibatkan dehumanisme pada diri anak. Pendidikan sejati, dalam arti yang humanis seperti yang dirintis generasi ’28, telah kehilangan makna dan menyimpang sejak Orde Baru yang sisa-sisanya masih ada sampai kini.

Kurikulum terselubung—tempat penguasa menyalurkan kemauan politiknya—dari TK sampai perguruan tinggi, adalah sistem komando, sistem taat, dan sistem hafalan kepada yang memberi instruksi. Meskipun dalam ketentuan kurikulum tingkat satuan pendidikan kegiatan pembelajarannya bisa dikembangkan di daerah masing-masing, tetap saja standarnya ditentukan secara terpusat dan diuji secara nasional. Anak hanya menjadi obyek yang mengabdi pada kepentingan penguasa. Suasana dialogis yang diharapkan terdapat dalam proses belajar-mengajar tidak terjadi karena yang dijalankan di dalam kelas adalah sistem komando, taat dan hapalan. Anak-anak menjadi kehilangan suara.

Model pendidikan penyeragaman hanya menghadirkan sosok dehumanis, kader-kader penghafal, pembeo, dan ”katak dalam tempurung”. Terjadi kesempitan cakrawala pandang yang pada gilirannya akan melahirkan fundamentalisme dan chauvinisme yang membentuk individu-individu fasis yang bermental penyamun, perompak, penggusur tak berperikemanusiaan, yang jelas-jelas menghambat kemajuan bangsa.

Dampak lain dari kesempitan pandangan adalah ketidakwajaran dalam relasi sikap terhadap kebenaran: orang merasa enak saja berbohong, korupsi, dan sebagainya tanpa merasa bersalah. Sementara di kalangan muda semakin lenyap kemauan untuk berpikir luas, eksploratif, dan kreatif. Muncul rasa rendah diri yang disertai kecenderungan primordial yang pada gilirannya melunturkan rasa solidaritas kebangsaan.

2.1 Upaya SD Mangunan

Melalui eksperimen pendidikan di SD Mangunan, diimplementasikan konsep Pasca-Indonesia (PI) dan Pasca-Einstein (PE). Melalui implementasi konsep itu dalam eksperimen pendidikan terjadi tinjauan kritis atas dominasi pemerintah dan kebijakan kurikulum yang menyeragamkan, mendomestifikasi, menstupidifikasi, dan mendehumanisasi anak.

SD Mangunan adalah sebuah SD yang menghasilkan anak- anak yang kreatif, eksploratif-komunikatif, dan integral, juga telah menghasilkan berbagai desain pembelajaran, lembar kerja, materi pelajaran, alat peraga, dan berbagai pelajaran khas serta pola pengasuhan siswa yang berbeda dari budaya massa mayoritas. Hasil-hasil eksperimen itu merupakan nilai alternatif, khususnya jiwa kreatif, eksploratif-komunikatif, dan integral adalah sebuah habitus anak-anak SD Mangunan yang dipakai untuk mendekonstruksi kultur massa mayoritas.

2.2 Evolusi kebudayaan

Dalam pandangan Romo Mangun, pembaruan pendidikan perlu ditempatkan di dalam kerangka evolusi kebudayaan yang menjadi sasaran utama pendidikan adalah perubahan dan pembentukan sikap-sikap dan kebudayaan yang baru. Maka, yang paling mendesak adalah perbaikan secara menyeluruh dan intensif pendidikan dasar. Bukan sekadar perbaikan masalah teknis didaktik-metodik, melainkan juga hal-hal yang ideologis, strategis-paradigmatis.

Salah satu kunci terpenting dalam rangka mewujudkan pembaruan pendidikan dalam rangka evolusi kebudayaan semacam itu adalah faktor manusia yang secara formal dipercaya menjalankan peran sebagai guru. Selain memiliki penguasaan teknis, seorang guru lebih-lebih harus merupakan seorang pribadi humanis yang sudah mengalami pencerahan sehingga ia mampu mengembalikan situasi pendidikan yang menghargai ”anak sebagai anak”.

Mengapa penyiapan sosok manusia PI dan PE dipilih melalui sekolah dasar? Menurut Romo Mangun, ada beberapa alasan. Pertama, yang mendasar itu sekolah dasar. Jenjang sekolah dasar merupakan ekosistem dan basis yang strategis bagi evolusi kita sebagai bangsa.

Kedua, suatu sistem pendidikan sekolah dasar yang cocok bagi anak-anak miskin akan merupakan sejenis pengalaman baseline yang pasti bisa diterapkan bagi anak-anak yang kaya. Sebaliknya, sistem pendidikan sekolah dasar yang baik untuk anak-anak kaya belum tentu cocok diterapkan untuk anak-anak miskin.

Ketiga, kenyataan bahwa di kalangan seluruh penduduk negeri kita, mayoritas anak-anak mereka dalam jangka waktu cukup lama masih akan hanya mencapai jenjang sekolah dasar, tak mampu melanjutkan belajar ke jenjang-jenjang yang lebih tinggi.

3. Kelahiran Pemimpin Alternatif

Pada globalisasi jilid pertama (abad XVIII-IXX), negara memegang peranan dalam mengekspansi dunia. Globalisasi jilid kedua (abad XX) adalah masa multinational corporation (perusahaan multinasional), di mana globalisasi di-drived oleh multinational corporation firm.

Saat ini kita telah memasuki globalisasi jilid ketiga, yang men- drive individu-individu. Persaingan dan pertempuran terjadi bukan lagi antarnegara atau antarkorporasi, melainkan antarorang. Saat ini orang harus memasarkan dirinya sendiri. Setiap orang agar bisa bertahan harus menguasai internet, bahasa internasional, dan informasi.

Perubahan dunia ini besar pengaruhnya pada negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia. Pada globalisasi jilid pertama kita dijajah oleh Belanda, Inggris, dan Jepang. Globalisasi jilid kedua multinasional corporation menghantam kemandirian kita sebagai suatu bangsa. Kita tidak punya kemandirian di bidang pangan, energi, dan modal. Kalau pada globalisasi jilid satu dan kedua kita sudah tidak survive, pada gelombang ketiga pun kita akan kalah bersaing kalau kita tidak menyiapkan SDM yang terdidik mulai dari sekarang[3].

Bagaimana SDM kita saat ini? Kualitas SDM Indonesia termasuk ”terbelakang” dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Secara kuantitas SDM kita besar, tetapi secara kualitas kita kalah. Dilihat dari human development index dan indikator lainnya, Indonesia kalah dari negara tetangga yang selevel di ASEAN, misalnya Malaysia[4].

Francis Wahono melihat keterpurukan Indonesia di antaranya disebabkan politik pendidikan rakyat Pancasila tahun 1950 diganti politik pendidikan pemerintah ala militerisme zaman Jepang pada tahun 1970-an sampai 1990-an dan kini tahun 2000-an diganti lagi dengan politik pendidikan pemerintah gaya partai pencari rente proyek dengan pembenaran ideologi neoliberalisme[5].

Menurut Wahono, jika keindonesiamerdekaan kita ala pendiri bangsa hendak dilahirkan kembali dari lumpur keterpurukan, revolusi pendidikan ala pendidikan rakyat Pancasila, di mana pendidikan ala Mangunwijaya dapat menjadi contoh hidup dan inisiatif-inisiatif pendidikan alternatif dapat terwadahi, harus diselenggarakan.

Ada dua dasar untuk pembaharuan pendidikan dan pengajaran ala Sekolah Rakyat Pancasila, yakni pengajaran harus diberikan menurut kodrat dan kebutuhan anak serta sekolah harus berhubungan dengan kehidupan masyarakat sehari-hari[6]. Pendidikan harus menghilangkan penyeragaman karena akan mematikan kreativitas anak. Sekolah menjadi bagian organis dari masyarakat, untuk masa depan masyarakatnya, bukan alat kekuasaan, pun bukan alat menajamkan elitisme dan fanatisme.

Guru harus tahu betul keadaan lingkungan sekitar sekolah. Bahan-bahan apa yang ada di sekitar sekolah yang dapat digunakan sebagai bahan pengajaran. Dalam bentuk apa bahan-bahan itu akan diajarkan. Bahan dapat diambil dari jalannya musim, pesta desa, dan adat istiadat. Pengajaran berbahan lingkungan ini cocok untuk kelas rendah sampai kelas IV, sedangkan untuk kelas V dan VI harus dibawa lebih jauh dari lingkungannya. Anak-anak senang menjelajah yang di luar lingkungan desa atau kampungnya, tetapi tetap harus bertolak dari sumber belajar sekitar.

Konsep Sekolah Rakyat Pancasila sejalan dengan apa yang diusulkan Sri Adiningsih bahwa untuk memenangi persaingan pada era globalisasi ketiga dibutuhkan sistem pendidikan yang glocalization. Kita berpikir secara lokal, tetapi harus bertindak secara global. Think globally, act locally!

Dari sisi kebudayaan, pendidikan bertugas menyuburkan kebudayaan bangsa, kepribadian bangsa, dan menjunjung harga diri bangsa dalam pergaulan internasional. Dalam negara merdeka, kebebasan jiwa dipentingkan sekali. Melalui pendidikan pemerdekaan, anak miskin diajak untuk mengolah pengalaman kemiskinannya dengan cara bermain sambil belajar. Metode bermain sambil belajar sejatinya ingin mengungkap kualitas dan citra kemanusiaan, kemerdekaan dan kesejatian.

Romo Mangun menulis di Kedung Ombo 6 Mei 1990 sebagai berikut :
“…. kebermainan manusia sangat erat hubungannya dengan spontanitas, autentisitas, aktualisasi dirinya secara asli menjadi manusia yang seutuh mungkin. Oleh karena itu ia menyangkut dunia dan iklim kemerdekaan manusia, pendewasaan dan penemuan sesuatu yang dihayati sebagai sejati. Bermain mengandung aspek kegembiraan, kelegaan, penikmatan yang intensif, bebas dari kekangan atau kedukaan, berporses emansipatorik; dan itu hanya tercapai dalam alam dan suasana
kemerdekaan. Manusia yang tidak merdeka tidak dapat bermain spontan, lepas, gembira, puas”[7].

Bila substansi Sekolah Rakyat Pancasila kita jadikan landasan pembelajaran sekarang ini, merupakan revolusi pendidikan, pendorong, dan pelancar usaha melahirkan kembali keindonesiamerdekaan serta dapat menghasilkan SDM yang memiliki kemandirian, harga diri, cinta bangsa, dan daya saing menghadapi globalisasi jilid ketiga. Siapa tahu, pemimpin alternatif yang selama ini dinantikan bangsa Indonesia justru akan lahir dari anak-anak miskin generasi pendidikan pemerdekaan SD Mangunan?

Daftar Referensi:

Sumber Buku:

1. Forum Mangunwijaya, 2007. Kurikulum yang Mencerdaskan: Visi 2030 dan Pendidikan Alternatif. Kompas: Jakarta

2. Harefa, Andrias, Menjadi Manusia Pembelajar, Penerbit Harian Kompas, Jakarta, 2000

3. Sindhunata (ed), Menggagas Paradigma Pendidikan: Demokratisasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi, Kanisius, Yogyakarta, 2000

4. Y.B. Mangunwijaya, Pasca-Indonesia Pasca-Einstein: Esei-Esei tentang Kebudayaan Indonesia abad ke-21, Kanisius, Yogyakarta, 1999

5. Y.B. Mangunwijaya, Pendidikan Pemerdekaan, (penyunting: Y. Sari Jatmiko), Dinamika Edukasi Dasar, Yogyakarta, 2004

Sumber Internet:

1. www.kompas.com

2. www.tembi.org

3. www.forum-politisi.org

4. www.unisosdeg.org



[1] www.forum-politisi.org, 5 Sepetember 2009

[2] www.kompas.com, Rabu, 09 September 2009 oleh A Ferry T Indratno

[3] www.kompas.com, Jumat, 4 Juli 2008 oleh A Ferry T Indratno

[4] Ibid.

[5] Ibid.

[6] Forum Mangunwijaya, 2007. Kurikulum yang Mencerdaskan: Visi 2030 dan Pendidikan Alternatif. Kompas: Jakarta

[7] www.tembi.org, 13 September 2009