Saturday, October 17, 2009

Menghidupkan Pendidikan Pemerdekaan Inspirasi Y.B Mangunwijaya

Menghidupkan Pendidikan Pemerdekaan

Inspirasi Y.B Mangunwijaya

Pemimpin sejati adalah orang yang mampu mencetak para pemimpin baru dan dengan demikian tercipta suatu masyarakat pemimpin (leader society). That’s a truly democratic Indonesia has taken shape.

1. Krisis dan Tren Kepemimpinan Humanis

Di masa reformasi ini Indonesia tengah mengalami krisis kepemimpinan nasional. Krisis kepemimpinan yang dimaksud adalah krisis keteladanan yang sebenarnya sudah dimulai sejak pecahnya kerusuhan Mei 1998. Berawal dari krisis moneter yang menyebabkan demonstrasi menuntut penurunan harga, sampai pada krisis kepercayaan rakyat kepada pemimpin nasional. Indonesia seakan impoten melahirkan para pemimpin bangsa yang mampu menjalankan program reformasi yang mempunyai kepekaan yang tajam pada kebutuhan dan kesejahteraan rakyat.

Argumen yang pernah dilontarkan oleh Gubernur Lemhanas, adalah bahwa terdapat 1100 anggota DPR baik di pusat maupun di daerah serta 67 gubernur dan bupati/walikota yang menjadi tersangka dan bahkan terpidana[1]. Pernyataan tersebut jelas menjadi pukulan yang amat berat bagi lembaga yang dipimpinnya, sekaligus sebagai wajah kepimimpinan yang dimiliki oleh bangsa saat ini. Sungguh ironis mengingat di zaman reformasi ini masih banyak pemimpin yang justru pandai dan berlomba-lomba mengelabui rakyat, bukan melayani rakyat.

Bagaimana mengatasi krisis kepemimpinan Indonesia saat ini? Mengembalikan makna dan perilaku pemimpin sebagai good leader bukan great leader, bukan sebagai petinggi atau pangreh, tetapi sebagai pamong. Dibutuhkan teladan dan langkah nyata yang berorientasi pada yang dipimpin. Dengan kata lain Indonesia sebenarnya menantikan kelahiran seorang atau sekelompok orang pemimpin humanis yang mempunyai perhatian yang mendalam pada kebutuhan rakyat miskin dan concern pada kebutuhan rakyat miskin Indonesia. Pemimpin humanis adalah orang yang mampu mencetak pemimpin-pemimpin baru dan dengan demikian menciptakan suatu komunitas pemimpin (leader society).

Setiap 2 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional. Dalam momen bersejarah itu patut dikenang nama-nama besar bapak pendidikan, seperti Ki Hajar Dewantara dari Jogjakarta dengan Taman Siswa, KH Mohamad Sjafei dari Sumatra Barat dengan NIS Kayutaman, atau Pakasi dari IKIP (sekarang Universitas) Negeri Malang, serta Romo Mangun (Y.B.Mangunwijaya) wijaya dengan SD Eksperimen Mangunan di Jogjakarta.

Namun, kini justru keprihatinan terhadap dunia pendidikan lebih sering mengemuka. Pendidikan mestinya mengabdi pada kepentingan dan pemekaran diri anak, tapi kenyataannya mengabdi pada kepentingan industri, pemerintah, gengsi orang tua dan kepentingan lain tanpa menghargai kebutuhan anak. Berbagai masalah pendidikan itu di era reformasi tidak berkurang. Jika demikian yang terjadi, bukannya pemimipin humanis yang akan dilahirkan sebaliknya pendidikan hanya akan melahirkan sosok dehumanis, kader-kader penghafal, pembeo, dan ”katak dalam tempurung”. Terjadi kesempitan cakrawala pandang yang pada gilirannya akan melahirkan fundamentalisme dan chauvinisme yang membentuk individu-individu fasis yang bermental penyamun, perompak, penggusur tak berperikemanusiaan, yang jelas-jelas menghambat kemajuan bangsa.

2. Pedagogi Humanisme Mangunwijaya

Konsep Pasca-Indonesia dan Pasca-Einstein merupakan konsep dasar humanisme Mangunwijaya yang dilandasi keprihatinannya. Kita masih suka berpikir dehumanis dalam bentuk pemikiran yang sempit, terkotak-kotak, bercita rasa dangkal, munafik, tidak fair, tidak jujur, serakah, manipulatif, tidak cerdas, dan tidak dewasa[2].

Dalam bidang pendidikan, situasi tersebut mengakibatkan generasi muda, khususnya peserta didik, tidak mendapatkan tanah tumbuh dan iklim kesempatan untuk berkembang menjadi semakin cerdas dan manusiawi. Seluruh iklim masyarakat tidak menguntungkan untuk menjadi manusia cerdas berkarakter tinggi.

Romo Mangun menolak sistem pendidikan yang membuat anak menjadi seragam karena pendidikan yang menyeragamkan akan mengakibatkan dehumanisme pada diri anak. Pendidikan sejati, dalam arti yang humanis seperti yang dirintis generasi ’28, telah kehilangan makna dan menyimpang sejak Orde Baru yang sisa-sisanya masih ada sampai kini.

Kurikulum terselubung—tempat penguasa menyalurkan kemauan politiknya—dari TK sampai perguruan tinggi, adalah sistem komando, sistem taat, dan sistem hafalan kepada yang memberi instruksi. Meskipun dalam ketentuan kurikulum tingkat satuan pendidikan kegiatan pembelajarannya bisa dikembangkan di daerah masing-masing, tetap saja standarnya ditentukan secara terpusat dan diuji secara nasional. Anak hanya menjadi obyek yang mengabdi pada kepentingan penguasa. Suasana dialogis yang diharapkan terdapat dalam proses belajar-mengajar tidak terjadi karena yang dijalankan di dalam kelas adalah sistem komando, taat dan hapalan. Anak-anak menjadi kehilangan suara.

Model pendidikan penyeragaman hanya menghadirkan sosok dehumanis, kader-kader penghafal, pembeo, dan ”katak dalam tempurung”. Terjadi kesempitan cakrawala pandang yang pada gilirannya akan melahirkan fundamentalisme dan chauvinisme yang membentuk individu-individu fasis yang bermental penyamun, perompak, penggusur tak berperikemanusiaan, yang jelas-jelas menghambat kemajuan bangsa.

Dampak lain dari kesempitan pandangan adalah ketidakwajaran dalam relasi sikap terhadap kebenaran: orang merasa enak saja berbohong, korupsi, dan sebagainya tanpa merasa bersalah. Sementara di kalangan muda semakin lenyap kemauan untuk berpikir luas, eksploratif, dan kreatif. Muncul rasa rendah diri yang disertai kecenderungan primordial yang pada gilirannya melunturkan rasa solidaritas kebangsaan.

2.1 Upaya SD Mangunan

Melalui eksperimen pendidikan di SD Mangunan, diimplementasikan konsep Pasca-Indonesia (PI) dan Pasca-Einstein (PE). Melalui implementasi konsep itu dalam eksperimen pendidikan terjadi tinjauan kritis atas dominasi pemerintah dan kebijakan kurikulum yang menyeragamkan, mendomestifikasi, menstupidifikasi, dan mendehumanisasi anak.

SD Mangunan adalah sebuah SD yang menghasilkan anak- anak yang kreatif, eksploratif-komunikatif, dan integral, juga telah menghasilkan berbagai desain pembelajaran, lembar kerja, materi pelajaran, alat peraga, dan berbagai pelajaran khas serta pola pengasuhan siswa yang berbeda dari budaya massa mayoritas. Hasil-hasil eksperimen itu merupakan nilai alternatif, khususnya jiwa kreatif, eksploratif-komunikatif, dan integral adalah sebuah habitus anak-anak SD Mangunan yang dipakai untuk mendekonstruksi kultur massa mayoritas.

2.2 Evolusi kebudayaan

Dalam pandangan Romo Mangun, pembaruan pendidikan perlu ditempatkan di dalam kerangka evolusi kebudayaan yang menjadi sasaran utama pendidikan adalah perubahan dan pembentukan sikap-sikap dan kebudayaan yang baru. Maka, yang paling mendesak adalah perbaikan secara menyeluruh dan intensif pendidikan dasar. Bukan sekadar perbaikan masalah teknis didaktik-metodik, melainkan juga hal-hal yang ideologis, strategis-paradigmatis.

Salah satu kunci terpenting dalam rangka mewujudkan pembaruan pendidikan dalam rangka evolusi kebudayaan semacam itu adalah faktor manusia yang secara formal dipercaya menjalankan peran sebagai guru. Selain memiliki penguasaan teknis, seorang guru lebih-lebih harus merupakan seorang pribadi humanis yang sudah mengalami pencerahan sehingga ia mampu mengembalikan situasi pendidikan yang menghargai ”anak sebagai anak”.

Mengapa penyiapan sosok manusia PI dan PE dipilih melalui sekolah dasar? Menurut Romo Mangun, ada beberapa alasan. Pertama, yang mendasar itu sekolah dasar. Jenjang sekolah dasar merupakan ekosistem dan basis yang strategis bagi evolusi kita sebagai bangsa.

Kedua, suatu sistem pendidikan sekolah dasar yang cocok bagi anak-anak miskin akan merupakan sejenis pengalaman baseline yang pasti bisa diterapkan bagi anak-anak yang kaya. Sebaliknya, sistem pendidikan sekolah dasar yang baik untuk anak-anak kaya belum tentu cocok diterapkan untuk anak-anak miskin.

Ketiga, kenyataan bahwa di kalangan seluruh penduduk negeri kita, mayoritas anak-anak mereka dalam jangka waktu cukup lama masih akan hanya mencapai jenjang sekolah dasar, tak mampu melanjutkan belajar ke jenjang-jenjang yang lebih tinggi.

3. Kelahiran Pemimpin Alternatif

Pada globalisasi jilid pertama (abad XVIII-IXX), negara memegang peranan dalam mengekspansi dunia. Globalisasi jilid kedua (abad XX) adalah masa multinational corporation (perusahaan multinasional), di mana globalisasi di-drived oleh multinational corporation firm.

Saat ini kita telah memasuki globalisasi jilid ketiga, yang men- drive individu-individu. Persaingan dan pertempuran terjadi bukan lagi antarnegara atau antarkorporasi, melainkan antarorang. Saat ini orang harus memasarkan dirinya sendiri. Setiap orang agar bisa bertahan harus menguasai internet, bahasa internasional, dan informasi.

Perubahan dunia ini besar pengaruhnya pada negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia. Pada globalisasi jilid pertama kita dijajah oleh Belanda, Inggris, dan Jepang. Globalisasi jilid kedua multinasional corporation menghantam kemandirian kita sebagai suatu bangsa. Kita tidak punya kemandirian di bidang pangan, energi, dan modal. Kalau pada globalisasi jilid satu dan kedua kita sudah tidak survive, pada gelombang ketiga pun kita akan kalah bersaing kalau kita tidak menyiapkan SDM yang terdidik mulai dari sekarang[3].

Bagaimana SDM kita saat ini? Kualitas SDM Indonesia termasuk ”terbelakang” dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Secara kuantitas SDM kita besar, tetapi secara kualitas kita kalah. Dilihat dari human development index dan indikator lainnya, Indonesia kalah dari negara tetangga yang selevel di ASEAN, misalnya Malaysia[4].

Francis Wahono melihat keterpurukan Indonesia di antaranya disebabkan politik pendidikan rakyat Pancasila tahun 1950 diganti politik pendidikan pemerintah ala militerisme zaman Jepang pada tahun 1970-an sampai 1990-an dan kini tahun 2000-an diganti lagi dengan politik pendidikan pemerintah gaya partai pencari rente proyek dengan pembenaran ideologi neoliberalisme[5].

Menurut Wahono, jika keindonesiamerdekaan kita ala pendiri bangsa hendak dilahirkan kembali dari lumpur keterpurukan, revolusi pendidikan ala pendidikan rakyat Pancasila, di mana pendidikan ala Mangunwijaya dapat menjadi contoh hidup dan inisiatif-inisiatif pendidikan alternatif dapat terwadahi, harus diselenggarakan.

Ada dua dasar untuk pembaharuan pendidikan dan pengajaran ala Sekolah Rakyat Pancasila, yakni pengajaran harus diberikan menurut kodrat dan kebutuhan anak serta sekolah harus berhubungan dengan kehidupan masyarakat sehari-hari[6]. Pendidikan harus menghilangkan penyeragaman karena akan mematikan kreativitas anak. Sekolah menjadi bagian organis dari masyarakat, untuk masa depan masyarakatnya, bukan alat kekuasaan, pun bukan alat menajamkan elitisme dan fanatisme.

Guru harus tahu betul keadaan lingkungan sekitar sekolah. Bahan-bahan apa yang ada di sekitar sekolah yang dapat digunakan sebagai bahan pengajaran. Dalam bentuk apa bahan-bahan itu akan diajarkan. Bahan dapat diambil dari jalannya musim, pesta desa, dan adat istiadat. Pengajaran berbahan lingkungan ini cocok untuk kelas rendah sampai kelas IV, sedangkan untuk kelas V dan VI harus dibawa lebih jauh dari lingkungannya. Anak-anak senang menjelajah yang di luar lingkungan desa atau kampungnya, tetapi tetap harus bertolak dari sumber belajar sekitar.

Konsep Sekolah Rakyat Pancasila sejalan dengan apa yang diusulkan Sri Adiningsih bahwa untuk memenangi persaingan pada era globalisasi ketiga dibutuhkan sistem pendidikan yang glocalization. Kita berpikir secara lokal, tetapi harus bertindak secara global. Think globally, act locally!

Dari sisi kebudayaan, pendidikan bertugas menyuburkan kebudayaan bangsa, kepribadian bangsa, dan menjunjung harga diri bangsa dalam pergaulan internasional. Dalam negara merdeka, kebebasan jiwa dipentingkan sekali. Melalui pendidikan pemerdekaan, anak miskin diajak untuk mengolah pengalaman kemiskinannya dengan cara bermain sambil belajar. Metode bermain sambil belajar sejatinya ingin mengungkap kualitas dan citra kemanusiaan, kemerdekaan dan kesejatian.

Romo Mangun menulis di Kedung Ombo 6 Mei 1990 sebagai berikut :
“…. kebermainan manusia sangat erat hubungannya dengan spontanitas, autentisitas, aktualisasi dirinya secara asli menjadi manusia yang seutuh mungkin. Oleh karena itu ia menyangkut dunia dan iklim kemerdekaan manusia, pendewasaan dan penemuan sesuatu yang dihayati sebagai sejati. Bermain mengandung aspek kegembiraan, kelegaan, penikmatan yang intensif, bebas dari kekangan atau kedukaan, berporses emansipatorik; dan itu hanya tercapai dalam alam dan suasana
kemerdekaan. Manusia yang tidak merdeka tidak dapat bermain spontan, lepas, gembira, puas”[7].

Bila substansi Sekolah Rakyat Pancasila kita jadikan landasan pembelajaran sekarang ini, merupakan revolusi pendidikan, pendorong, dan pelancar usaha melahirkan kembali keindonesiamerdekaan serta dapat menghasilkan SDM yang memiliki kemandirian, harga diri, cinta bangsa, dan daya saing menghadapi globalisasi jilid ketiga. Siapa tahu, pemimpin alternatif yang selama ini dinantikan bangsa Indonesia justru akan lahir dari anak-anak miskin generasi pendidikan pemerdekaan SD Mangunan?

Daftar Referensi:

Sumber Buku:

1. Forum Mangunwijaya, 2007. Kurikulum yang Mencerdaskan: Visi 2030 dan Pendidikan Alternatif. Kompas: Jakarta

2. Harefa, Andrias, Menjadi Manusia Pembelajar, Penerbit Harian Kompas, Jakarta, 2000

3. Sindhunata (ed), Menggagas Paradigma Pendidikan: Demokratisasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi, Kanisius, Yogyakarta, 2000

4. Y.B. Mangunwijaya, Pasca-Indonesia Pasca-Einstein: Esei-Esei tentang Kebudayaan Indonesia abad ke-21, Kanisius, Yogyakarta, 1999

5. Y.B. Mangunwijaya, Pendidikan Pemerdekaan, (penyunting: Y. Sari Jatmiko), Dinamika Edukasi Dasar, Yogyakarta, 2004

Sumber Internet:

1. www.kompas.com

2. www.tembi.org

3. www.forum-politisi.org

4. www.unisosdeg.org



[1] www.forum-politisi.org, 5 Sepetember 2009

[2] www.kompas.com, Rabu, 09 September 2009 oleh A Ferry T Indratno

[3] www.kompas.com, Jumat, 4 Juli 2008 oleh A Ferry T Indratno

[4] Ibid.

[5] Ibid.

[6] Forum Mangunwijaya, 2007. Kurikulum yang Mencerdaskan: Visi 2030 dan Pendidikan Alternatif. Kompas: Jakarta

[7] www.tembi.org, 13 September 2009

No comments: