Saturday, February 20, 2010

Push to the Limit

-refleksi live in-
Pulung Wismantyoko, Yustinus
“Meskipun setiap orang rindu akan kebenaran, tapi reaksi pertama yang
muncul ketika berhadapan dengan kebenaran itu adalah takut
dan lari dari kenyataan”.
-Managamtua Heribertus
Simbolon SJ_12/10-09
Yang penting bukan di mana
Tapi bagaimana aku menjalaninya…
Refleksi ini tidak hanya mengisahkan perjuanganku memaknai setiap titik pengalaman live in-ku di KPTT (Kursus Pertanian Taman Tani), Salatiga, Jawa Tengah tetapi juga akan memberikan kesaksian tentang perjuanganku mengerahkan seluruh energiku untuk mencari Allah. Wuih kelihatannya keren kan, untuk itu silakan membaca refleksi sederhana ini semoga bisa menjadi insipirasi bagi kita semua
Pada tanggal 7 Oktober sampai dengan 12 Oktober 2009 semua seminaris Medan Utama angkatan 96 mendapat kesempatan untuk mengalami live in. Bagiku Live in itu tidak sekedar tinggal (live) tapi juga bagaiamana merasa in di tempat dan suasana baru. Maka, sebenarnya aku ditantang untuk live dan merasa in di mana pun aku berada.
Sebenarnya aku ingin sekali ditempatkan di SD Eksperimen Mangunan Kalasan, Yogyakarta. Selain bisa mengenal lebih dekat semangat dan humanisme Romo Mangun, aku juga bisa mengalami sendiri mendampingi anak-anak miskin di sana. Namun, apa mau dikata ternyata Tuhan menginginkan aku untuk belajar menyalurkan energi kreatifku dari tanaman. Aku diajak untuk belajar bertani di Kursus Pertanian Taman Tani (KPTT) Salatiga, Jawa tengah. Pada prinsipnya aku menerima di manapun aku akan ditempatkan. Walau ada sedikit rasa kecewa tapi bagiku itu tidak menjadi masalah lantaran aku sudah mendisposisikan batinku bahwa “yang penting itu bukan di mana aku akan ditempatkan tapi bagaimana aku akan menjalani, tinggal (live) dan merasa in dengan suasana dan orang-orang baru”. Seperti kata Romo Mangun, “Di mana hati diletakkan di situlah proses belajar dan menjadi dewasa dimulai”, aku akan belajar dari kejutan-kejutan yang mungkin akan aku jumpai nanti. Aku akan selalu terbuka dengan berbagai pengalaman baru, orang-orang baru dan suasana baru.


Out of Boundaries
Selama hampir sembilan belas tahun aku hidup di dunia belum pernah aku mengenal tentang pertanian, kecuali satu kesempatan home stay lalu di Banyutemumpang, itu pun hanya 3 hari 2 malam. Selain itu, aku sama sekali buta pertanian. Sama sekali tak ada gambaran yang bisa menjelaskan kepadaku tentang apa yang akan terjadi nanti. Di satu sisi ada perasaan takut yang mengahalangiku melangkah lebih jauh, namun di sisi lain aku ditantang untuk siap sedia belajar dan beradaptasi di manapun aku berada.
Sampai pada titik itu aku tersadarkan oleh pengalaman outbound ketika libur lebaran lalu. Seperti halnya pengalaman outbound di Youth Center itu, untuk dapat keluar dari batasan-batasan (boundaries) pertama-tama aku harus belajar mengenali ketakutan-ketakutan yang selama ini menjadi benteng diriku. Dengan demikian akan lebih mudah bagiku untuk keluar dari wilayah nyamanku masuk ke wilayah berani yang mungkin sama sekali asing bagiku. Keberanianku untuk meluncur di tantangan Flying Fox dan mengatasi segala ketakutanku, menjadi titik tolakku untuk lebih berani mengatasi berbagai tantangan yang aku hadapi dalam hidup sehari-hari. Di manapun aku akan ditempatkan nanti aku akan siap sedia menerimanya dan terus beradaptasi dengan lingkungan baru.
Seperti tulisan di persimpangan Medan Utama, “Tujuan akan tercapai kalau kita berani melangkahkan kaki kita. Sebuah langkah besar selalu diawali dengan langkah-langkah kecil. Tugas kita adalah untuk memulai langkah-langkah kecil itu. Tuhan yang akan mengatur langkah-langkah kecil itu untuk menjadi langkah besar”, aku yakin keberanianku menerima segala tantangan itu akan membantuku mengatasi ketakutan dan kecemasanku, keluar dari batasan-batasan dan masuk ke wilayah berani.
Live di tengah komunitas baru ternyata tidak langsung membuatku merasa in. Aku mengalami ketegangan-ketegangan yang seperti menarikku ke berbgai arah. Pertama, aku harus berusaha masuk ke dalam komunitas yang sama sekali baru bagiku. KPTT (Kursus Pertanian Taman Tani) adalah semacam lembaga non-formal yang memberikan kursus kepada para calon petani pengusaha sukses! Berhubung bentuknya adalah asrama berarti aku harus beradaptasi dengan komunitas baru. Lagi pula peminat kursus pertanian yang mayoritas dari luar Jawa, terutama dari Medan, Flores, Kalimantan, dan Papua ini memaksaku berkomunikasi sesuai dengan logat dan budaya mereka. Di satu sisi aku merasa tertantang dan tidak sabar segera terjun ke dalam komunitas, di sisi lain masih ada rasa takut yang menghalangi langkah kecilku.
Kedua, di sana aku diajak untuk mengerjakan pekerjaan seorang petani. Aku mengalami sendiri mencangkul tanah, menyiram tanaman, memanen sayuran yang ternyata sangat melelahkan dan menguras seluruh energiku. Pada awalnya aku merasa satu hari seperti satu minggu. Aku merasa waktu begitu lambat berlalu dan terasa begitu lama. Melihat dua tantangan itu, aku seperti dihadapkan pada dua pilihan, aku diam dan seolah-olah tidak peduli dengan live in-ku, atau berusaha memperjuangkan pengalaman live in ini walau harus merasakan sakit dan lelah luar biasa. Aku sempat berpikir untuk mengambil pilihan yang pertama, karena memang lebih nyaman dan tidak membutuhkan lebih banyak energi untuk melakukannya. Tapi, ketika aku teringat prinsip hidupku, bahwa keberanian untuk mengambil langkah dan inisiatif akan membantu mengatasi segala ketakutan, aku seperti dimampukan untuk lebih berani mengerahkan semua energi yang aku miliki untuk beradaptasi dengan lingkungan baruku dan tidak lari dari kenyataan.
Aku tidak peduli begaimanapun sangar dan seremnya tampang preman mereka, yang aku tahu aku ingin sekali menjadi sahabat mereka. Ternyata benar, keberanianku memulai langkah kecil itu membuatku menyadari bahwa “TAMPANG BOLEH PREMAN, TAPI HATI SELUCU HELLO KITTY”. Pelan-pelan aku mulai merasa in dengan komunitas baruku ini. Aku live bersama mereka dan merasa in dengan budaya mereka.
Ketika aku berdoa mohon kekuatan, Tuhan memberikan aku tantangan agar aku lebih kreastif menjalani hidup. Ketika aku mohon kesabaran, Tuhan memberiku orang-orang yang menjengkelkan. Ketika aku memohon sahabat, Tuhan memberiku orang-orang dengan tampang preman dan sangar agar aku bisa mengalami dan menemukan makna persahabatan yang sejati. Tuhan selalu menantangku untuk selalu memilih lebih kreatif dan produktif. Tuhan tidak memberiku ikan agar langsung dapat aku makan. Tuhan memberiku kail agar aku bisa mengerahkan seluruh energi kreatifku dan dengan demikian aku lebih mampu bersyukur atas segala pengalaman hidup. Tuhan selalu mengajakku untuk PUSH TO THE LIMIT dan masuk ke wilayah berani!
Kebahagiaan Rohani
Ketika aku mengerahkan energiku sampai pada tetes energi terakhir aku seperti merasa mendapatkan energi yang lebih besar untuk menikmati setiap tantangan. Malahan Tuhan memberiku bonus berupa kebahagiaan rohani yang sangat menyegarkan dan membuat hidupku lebih cerah. Keping-keping keberanian yang telah aku kerahkan, membuatku tak lagi merasakan ketakutan yang aku alami sebelumnya. Ketika aku berani mulai mengambil langkah-langkah kecil, Tuhan telah mengatur langkah-langkah besar yang akan menggantikan langkah-langkah kecil itu.
Aku sama sekali tidak menyesal ditempatkan di KPTT Salatiga, malahan aku merasa sangat beruntung lantaran aku bisa menemukan pelajaran berharga untuk perkembangan panggilanku. Aku menyadari panggilanku itu seumpama sebuah benih yang disemaikan Tuhan di seminari. Tuhan telah menancapkan benih itu sejak pertama aku memutuskan masuk seminari, dan sekarang setelah selama hampir empat tahun menghidupi benih panggilan itu aku merasa mulai bertumbuh dan terus menjadi besar.
Pengalaman mengolah tanah, menyiram dan merawat tanaman, dan memanen membuatku merasakan sendiri bagaimana selama ini Tuhan telah bekerja keras merawat panggilanku. Tuhan itu ternyata seperti seorang petani yang setiap hari pergi ke ladang, mencangkul dan menyabit semua hama yang mengganggu, memberikan sentuhan cinta pada benih yang mulai bertumbuh menjadi tanaman dewasa. Panas terik matahari dan lelah yang menyerang tidak menghalangi Tuhan untuk senantiasa setia mencintai benih kehidupan itu. Setiap tetes keringat dan kreativitas Tuhan telah memampukanku untuk mengerahkan semua energiku sampai tetes energi terakhir.
Sekarang ketika aku melihat kembali keping-keping pengalaman itu, aku tak kuasa menahan kebahagiaan rohani yang aku rasakan ketika aku memaksa diriku sendiri untuk mengerahkan seluruh energi walau harus merasakan sakit. Semua yang aku lakukan ini, semata-mata karena aku mencintai panggilan yang telah Tuhan tanam dalam hidupku dan karenanya aku rela merasa sakit untuk memperjuangkannya. Cinta memampukanku untuk mengerahkan seluruh tenagaku dan berani merasakan sakit. Seperti kata Romo Agam, “Cinta tanpa merasa sakit belumlah cinta”.Push to the limit!!!

No comments: